Sekotak susu untuk anak jalanan

Filosofi Sekotak Susu untuk Anak Jalanan adalah “Jika fisik anak jalanan itu sehat dan kebutuhan gizi mereka terpenuhi, mereka dapat menjadi lebih pintar. Kalau mereka pintar, mereka mempunyai kesempatan lebih besar untuk mengubah kehidupannya menjadi lebih baik lagi, dibandingkan dengan hanya mengemis dan mengamen di jalanan”.


Terinspirasi ketika melihat anak-anak yang mengamen dan meminta-minta di jalanan dan menapaki satu angkot ke angkot lainnya, membawa 4 lulusan Teknik Industri STT Telkom Bandung 2004, yakni Rahmanita Vidyasari (Vidya), Nurmaya Widuri (Mae), Fanny Sudarti (Fanny), dan Aruna Anggayasti (Aruna) membentuk sebuah gerakan yang menamakan diri “Sekotak Susu untuk Anak Jalanan”. Gerakan ini, telah dimulai sejak tahun 2008 lalu.

Mengapa Sekotak Susu, Bukan Uang?

Kota besar memang tidak selalu mendatangkan kemakmuran. Berbanding terbalik dengan kehidupannya yang gemerlap, beberapa kota besar di Indonesia, salah satunya Bandung, memiliki masalah yang tak terelakkan, yakni maraknya anak-anak jalanan. Mereka hilir mudik menghiasi sudut kota. Bermodalkan kecrekan atau gitar kecil dan gelas air mineral bekas, mereka mengais rezeki dengan mengamen atau malah meminta-minta.
Pertanyaan yang kerap muncul di benak banyak orang saat berhadapan dengan mereka adalah, “Haruskah saya memberi uang pada mereka?” Mulai saat ini STOP memiliki keraguan seperti itu. Gerakan ini menawarkan sesuatu yang real lewat sekotak susu yang dapat membantu anak-anak jalanan untuk tetap sehat. Menurut para pendirinya, sebenarnya tidak perlu harus sekotak susu, kita pun dapat memberi anak-anak jalanan itu makanan lain seperti biskuit, cokelat, permen, roti, atau apapun, yang penting bukan uang.
Filosofi Sekotak Susu untuk Anak Jalanan adalah “Jika fisik anak jalanan itu sehat dan kebutuhan gizi mereka terpenuhi, mereka dapat menjadi lebih pintar. Kalau mereka pintar, mereka mempunyai kesempatan lebih besar untuk mengubah kehidupannya menjadi lebih baik lagi, dibandingkan dengan hanya mengemis dan mengamen di jalanan”.
Mengapa sekotak susu dan bukan uang? “Kami pikir uang itu dampaknya tidak bagus untuk mereka, bisa saja uang itu dikasih sama preman, dibelikan rokok, lem aibon, minuman keras, atau narkoba. Selain menyehatkan, terutama bagi anak-anak yang masih dalam masa pertumbuhan, dilihat dari ukurannya, sekotak susu pun gampang dibawa ke mana-mana,” tandas Vidya dan Aruna yang kesehariannya selalu membawa sekotak susu di dalam tasnya.


Pesan Moral dalam Sekotak Susu
Di tangan muda-mudi ini, sekotak susu bukan hanya menjadi asupan gizi bagi anak jalanan. Ini dibuktikan Vidya dan Aruna yang mampu menstransferkan nilai-nilai moral dan semangat melalui sekotak susu yang mereka bagikan. Hari itu, Selasa, 11 Agustus 2009, spirit sekotak susu begitu membahana membangun tawa dan keceriaan bagi anak jalanan.

Petualangan dua gadis itu akhirnya bertepi di lampu merah dan sudut-sudut jalanan Bandung di kawasan Tegalega, Merdeka, dan Djuanda (Simpang Dago). Awalnya, memang beberapa anak terlihat menjauh ketika Vidya dan Aruna mendekat, namun ketika keduanya memperlihatkan apa yang mereka bawa, anak-anak itu ternyata mau mendekat dan berbincang-bincang dengan keduanya.
Anak jalanan, tetaplah seorang anak yang senantiasa haus akan perhatian dan kasih sayang. Selain itu, umumnya anak lebih menyukai makanan dan mainan daripada uang. Kiranya, itulah gagasan awal yang membuat mereka berempat menggagas gerakan ini.



“Selalu Berbuat Baik dan Jujur”, “Jangan Lupa Beribadah”, atau “Selalu Hormat pada Orangtua” itulah pesan-pesan sederhana dan mudah dipahami yang sengaja ditulis di atas kertas berwarna-warni dan ditempelkan di kotak susu yang diberikan pada anak-anak. Di samping kata-kata, mereka membubuhkan simbol-simbol aneka senyuman yang ceria dan memancing tawa dan rasa penasaran anak-anak yang melihatnya.
Tengoklah apa yang dilakukan Aruna pada gadis kecil yang tengah duduk di zebra cross menunggui sang kakak yang ketika itu mengamen di lampu merah. Bocah perempuan berponi lurus itu tampak lusuh dan kelihatan begitu letih sampai kepalanya ditundukkan hingga mengenai lututnya. Ketika Aruna mendekatinya, dengan mata sayup-sayup, si anak mengangkat kepalanya. Dengan ekspresi polos dan wajah tertegun, anak itu mengambil susu yang diberikan Aruna, “(Ini) buat saya atau kakak saya?” tanyanya yang ternyata memiliki hubungan yang dekat dengan sang kakak.
Sebut saja ia Rini. Tubuh yang kecil, gaya bicara yang masih lugu, dan yang menjadi ciri khasnya adalah setiap tuturan yang keluar dari bibir kecilnya, semuanya tentang kakak perempuannya yang bernama Cindy. Ketika Rini meminum susunya, Aruna menawarkan bocah itu untuk duduk di pangkuannya. Kepada Aruna, ia bercerita bahwa hampir setiap hari, sepulang kakaknya sekolah, mereka berdua mengamen di tempat yang telah ditentukan.
Aruna kemudian mengajak Rini untuk membaca tulisan di secarik kertas yang ditempelkan di kotak susu. Isinya ternyata pas sekali, mengajak Rini untuk selalu sayang pada keluarganya. Dengan memperlihatkan giginya, Rini tersenyum manis seraya mengulang kata-kata Aruna, ”(Aku) harus sayang sama Mama, Bapak, dan Kak Cindy!”
Meski Vidya mengakui bahwa gerakan yang dirintisnya baru seumur jagung, tapi ia percaya semangatnya dan kawan-kawannya akan terus hidup lewat sekotak susu yang mereka berikan untuk anak-anak jalanan.
Sumber : www.tzuchi.or.id

0 komentar:

Posting Komentar

 
Notes Dita Blog Design by Ipietoon